Tak Berkategori

Romo Sis

Pater Emmanuel Siswanto Poespowardojo, O.Carm.

Romo Sis, demikian biarawan pendiam ini biasa dipanggil, lahir pada tanggal 22 Desember 1929 di Malang. Beliau adalah putra kedua dari delapan bersaudara pasangan Puspowardoyo. Hampir semua anak dari Bapak Puspowardoyo menjadi biarawan atau biarawati. Sungguh sulit sekarang ini mencari keluarga Katolik yang anak-anaknya menjadi biarawan biarawati. Pada keluarga Puspowardoyo, kedua orang tua kita bisa belajar akan cinta dan kesetiaan sejati sepasang suami isteri  sampai dibawa mati. Kedua orang tua Romo Sis meninggal karena dibunuh oleh seorang yang membetulkan rumahnya. Saat dikuburkan bagian tanah pembatas liang kuburnya longsor sehingga akhirnya jadi satu liang.  Keluarga termasuk Romo Sis tidak menuntut pembunuh kedua orang tuanya, melainkan justru mendoakan orangnya.

Riwayat pendidikan & pekerjaan:

Pendidikan dasar dan menengah pertama dijalaninya pada masa penjajahan Belanda dan Jepang. Siswanto muda lulus SMA Katolik St.Albertus Malang. Dua tahun kemudian ia mulai merintis upaya mewujudkan cita-cita  menjadi imam dengan masuk Novisiat Karmel di Batu. Masa pembinaan sebagai calon imam dijalaninya dengan lancar. Tahun 1953 ia mengucapkan kaul pertama. Tahun 1956 lelaki berkacamata ini mengucapkan kaul kekal. Pada tahun 1959 ia menerima Sakramen Imamat bersama kakak kandungnya, Romo J.C. Djanardono Poespowardojo, O.Carm. dan Mgr. F.X. Hadisumarto, O.Carm. Setelah ditahbiskan, Romo Sis muda mendapat tugas untuk melanjutkan studi di bidang ilmu pasti sambil menjadi pengasuh asrama putra Dempo (1960-1963). Begitu tamat B-1, Romo Sis diangkat menjadi Kepala SMA Katolik Mater Dei Probolinggo (1963-1967). Kemudian, tahun 1967, Romo Sis dimutasi dan diangkat menjadi Kepala SMA Katolik St.Albertus Malang, sekaligus mengajar Ilmu Pasti, khususnya Analitika. Rm. Sis melayani SMAK Dempo selama 30 tahun. Pada masa itu beliau juga merangkap tugas sebagai pemimpin Ordo Karmel (Provinsial) selama dua periode (1973-1979), dan Rektor Seminarium Marianum di Jalan Talang 3 Malang yang bersebelahan dengan SMA Katolik St.Albertus. Mulai tahun 1979 beliau minta kepada Ordo Karmel untuk disiapkan penggantinya. Permintaannya itu baru terpenuhi pada tahun 1997. Namun, berhenti sebagai Kepala Sekolah bukan berarti pensiun. Beliau masih tetap bersedia menjadi Ketua Yayasan Sancta Maria yang mengelola dua SMA: SMA Katolik St.Paulus Jember dan SMA Katolik St.Albertus. Setelah melaksanakan tugasnya sebagai Ketua Yayasan Sancta Maria selama empat tahun, beliau diminta untuk diangkat kembali menjadi Kepala SMA Katolik St.Albertus pada bulan Desember 2001 untuk jangka waktu satu tahun saja. Namun baru tiga bulan dijalaninya, pada tanggal 3 April 2002 beliau masuk rumah sakit hingga akhirnya wafat pada tanggal 13 April 2002 di RKZ Surabaya.Tuhan punya rencana lain. Hidup Romo Sis sungguh dicurahkan sampai mati demi cintanya kepada dunia pendidikan, khususnya SMA Katolik St.Albertus (Dempo).

Doa

Romo Sis sungguh menghayati panggilannya sebagai biarawan Karmel. Selain  rajin dan tekun berdoa terutama devosi ke Bunda Maria, Beliau dikenal sebagai Karmelit yang tidak banyak bicara tapi menghayati kharisma Karmel yang bersemuka dengan Allah dalam kesunyian dan keheningan. Pergaulan mesra dengan Allah inilah yang menjadi sumber cinta dan pelayanan Romo Sis sesama. Karakternya yang tampaknya pendiam justru mengalirkan pancaran kasih-Nya yang begitu kuat dan mengubah bukan hanya orang Katolik, tapi juga siapa saja. Itulah salah satu alasan mengapa begitu banyak orang merasa kehilangan atas meninggalnya Romo Sis. Beliau adalah seorang pribadi yang tahu mengisi hidup ini dengan penuh makna, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Sambil mengemban tugas-tugasnya, beliau masih sempat menerjemahkan sekian banyak buku bermutu, yang kemudian diterbitkan. Semua orang melihat Romo Sis sebagai pribadi yang berdisiplin tinggi, setia dan sangat bertanggung jawab pada tugas. SMA Katolik St.Albertus hampir identik dengan Romo Sis, bukan sekadar karena lamanya beliau menjadi Kepala Sekolah, tetapi terlebih karena perhatian dan cinta yang begitu besar kepada para murid dan alumni serta para guru dan pegawai.

Persaudaraan & Pelayanan

“Disiplin keras dan sanksi-sanksi berat yang dikenakan kepada kami tidak melukai atau menyakitkan hati, karena kami tahu dan mengalami betapa Romo Sis mencintai kami dan menginginkan yang terbaik bagi kami,” demikian kesaksian para alumni. Beberapa guru senior mengatakan bahwa saat pagi sebelum pembelajaran dimulai Romo Sis  selalu berdiri di depan pintu dekat  tata usaha. Beliau  mengawasi siswa dan guru masuk kelas karena bel masuk sudah berbunyi. Pada saat jam pertama dimulai setelah doa pagi, Romo selalu keliling melihat situasi   kelas serta mengambil presensi/absensi. Saat keliling, Romo juga memeriksa keadaan fasilitas dan gedung sekolah. Jika ada yang rusak langsung  telpon ke TU untuk minta diperbaiki. Saat siang pulang sekolah, Romo dengan setia menunggu dan memberi sanksi siswa siswi yang terlambat. Bilamana ada siswa ataupun siswi yang tidak masuk, kadang Romo mengecek sendiri ke rumahnya atau menugaskan guru/karyawan untuk mengecek. Kalau ada siswa laki-laki yang rambutnya sudah panjang  tapi bandel potong rambut walaupun sudah dingatkan, Romo langsung mengantarkan ke tukang cukur untuk potong rambut bahkan membayar ongkosnya. Kalau ada guru yang melakukan kesalahan Romo memanggil secara pribadi dikantornya. Saat guru lembur tugas kepanitiaan Romo selalu membeli makanan untuk guru dan karyawan namun tidak lupa membelikan makanan untuk anak-anak yang sudah ditinggalkan di rumah. Waktu luang atau liburan atau pas keluar kota Romo selalu menyempatkan berkunjung/anjangsana ke keluarga guru/karyawan, siswa/siswi dan alumni.

Masih banyak kenangan manis-asam-asin dengan dan tentang Romo Sis. Kenangan-kenangan itu dapat  dibaca pada buku “Romo Sis: Kamu Ini!” (Dempo:2002). Pada buku itu disaksikan betapa pribadi Romo Sis telah menebar berbagai keutamaan yang layak diteladani oleh orang-orang yang pernah diserahkan ke dalam tanggung jawabnya sebagai pendidik. Salah satu kesaksian alumni berkisah demikian, “Kendati tak bermaksud menggambarkan pribadi Romo Sis sebagai sosok serba sempurna, perkenalan yang diikuti dengan pergaulan selama lebih dari seperempat abad bersamanya telah menjadi harta hidup yang mengantarkan saya kepada pengakuan bahwa beliau adalah seorang yang istimewa. Dalam kurun waktu itu, saya tidak pernah menjadi orang dekatnya. Artinya, Romo Sis – bukan saya – yang mendekat, yakni ketika beliau membutuhkan bantuan dari “seorang yang bukan apa-apa, bukan siapa-siapa dan tak ingin menjadi apa-apa, pun siapa-siapa” baginya (bdk. “Age quod agis!” dalam Sukses Alumni Dempo, 1996). Sedangkan saya tidak punya nyali mendekatinya – pertama-tama karena perbedaan usia yang sangat jauh: Romo Sis bapak, saya anak; Romo Sis direktur, saya batur (pembantu); Romo Sis imam, saya awam; Romo Sis mencintai dan dicintai banyak orang, saya hanya salah seorang murid yang mencintainya secara diam-diam. Perbedaan itu bisa diteruskan untuk meyakinkan bahwa saya tidak pernah merasa menjadi ‘orang dekat’ Romo Sis karena kelaziman banyak orang mendekati ‘tokoh’ bukanlah kebiasaan saya. Meskipun sering harus berpikir keras dan bekerja ekstra untuk dapat menyelesaikan dengan baik tugas-tugas yang diberikan Romo Sis, saya bukanlah think-tank beliau sebagaimana pernah menjadi kecurigaan beberapa guru senior Dempo. Saya hanya salah seorang yang dipercayainya untuk melaksanakan sebagian kecil dari sekian banyak tugas hidupnya. Itu pun seingat beliau saja, karena sangat banyak orang yang senang dimintai bantuan olehnya. Kesediaan beliau mendengarkan orang lain – tanpa pandang bulu – dan mengolahnya untuk menjadi keputusan terbaik bagi semua, menurut saya serupa super-tank. Jadi, tak perlu ada think-thank khusus, apalagi bayaran!”

Kesaksian berlanjut demikian. “Sewajarnya saja. Ketika sebuah tugas saya terima, pada saat itu pula saya bertekad melaksanakannya sebaik mungkin. Dalam tekad itu tak pernah saya perhitungkan risikonya bagi diri sendiri. Dan ketika melaksanakannya, perbedaan dan ketidaksesuaian yang juga wajar terjadi antara Romo Sis dengan saya justru mengemuka sehingga menjadi arena pembelajaran yang tak ternilai harganya. Demikian pula kejadian-kejadian kecil dalam pergaulan kami atau yang sekadar saya saksikan tanpa keterlibatan yang mendalam, telah membekas dan sering muncul tiba-tiba seperti gambar hidup.”

Totalitas pendidikan

Pendidikan totalitas bukanlah untuk menciptakan individualis , keegoisan, dan profesional semu (mementingkan mencari  nafkah/uang saja) tetapi menumbuhkan  hasil positif/kebaikan  dan kemuliaan terhadap orang lain. Kita bisa  memulainya melalui hal-hal yang sederhana. Kita bias  menumbuhkan cinta yang luar biasa terhadap pendidikan, khususnya di sekolah terutama terkait dengan penanaman dan keteladanan cinta kepada Tuhan Yang Mahaesa, cinta kepada sesama, dan alam sekitarnya. Dalam mewujudkanya  penanganan dan pelayanan  sekolah tentu menuntut  keterlibatan semua pihak terkait(keluarga, masyarakat, yayasan, dan pemerintah). Pendidikan tidak hanya memunculkan orang kaya tapi harus memunculkan orang yang bahagia menuju kesempurnan. Guru sebagai salah satu unsur pendidik bukan hanya sekedar digugu dan ditiru atau kalau Minggu turu bahkan wagu dan saru namun sebagai “gudang dan pengarah ilmu’ menuju pembaharuan. Selain itu, guru sebagai  tenaga profesional harus terus mengasah kemampuannya dengan cara belajar, belajar dan belajar. Guru dpat meningkatkan kemmpuannya dengan  membaca, meneliti dan menulis. Pada awal tahun pelajaran diharapkan guru tidak hanya sekedar menyiapkan administrasi pelajaran, tapi merancang  penulisan ilmiah serta penelitian. Kalau perlu sampai bisa menghasilkan produk buku atau media pembelajaran sendiri.  

Diolah kembali dari  : http://ruhcitra.wordpress.com/in-memoriam/